BERPAKAIAN
TETAPI TELANJANG
Dua golongan di
antara penghuni neraka yang belum aku lihat keduanya: suatu kaum yang membawa
cambuk seperti ekor sapi yang mereka gunakan untuk memukul orang-orang;
perempuan yang berpakaian, tetapi telanjang yang cenderung dan mencenderungkan
orang lain, rambut mereka seperti punuk unta yang miring. Mereka ini tidak akan
masuk surga dan tidak akan mencium aroma surga. Sesungguhnya aroma surga itu
bisa tercium sejauh perjalanan demikian dan demikian. (HR Muslim)
Imam Muslim meriwayatkannya dari Zuhair bin Harb, dari Jarir, dari Suhail dari bapaknya (yakni Abu Shalih), dari Abu Hurairah. 1 Hadis tersebut juga diriwayatkan oleh Ibn Hibban dalam Shahîh-nya dan Imam Ahmad dalam Musnad-nya.2
Meski
menggunakan redaksi berita, hadis ini bermakna thalab li-tark (tuntutan
untuk meninggalkan) perbuatan atau karakter yang diberitakan. Ungkapan min
ahl an-nâr merupakan qarînah (indikator) bahwa karakter atau
perbuatan yang digambarkan setelahnya merupakan sesuatu yang haram, bahkan
lebih ditegaskan dengan ungkapan bahwa mereka tidak akan masuk surga dan tidak
akan mencium aroma surga, sekaligus menunjukkan betapa besar dosanya.
Dua golongan
penghuni neraka itu adalah: Pertama, kaum yang membawa cambuk yang
mereka gunakan untuk memukul orang-orang. Ini merupakan perumpamaan dari para
pemimpin diktator (al-jabbârûn) dan kaki tangannya. Mereka
menyengsarakan dan menzalimi orang-orang atau rakyat.
Kedua, nisâ'[un] kâsiyât[un] 'âriyât[un] mâ'ilât[un]
mumîlât[un] (wanita yang berpakaian tetapi telanjang yang cenderung dan
mencenderungkan orang lain). Frase kâsiyât[un] 'âriyât[un] (berpakaian tetapi
telanjang) menurut Imam an-Nawawi memiliki beberapa makna, baik secara majazi
maupun hakiki.3 Pertama: berpakaian (dibungkus) oleh nikmat
Allah, tetapi telanjang dari syukur kepada-Nya. Kedua: berpakaian, yakni
terbungkus dengan pakaian, tetapi telanjang dari perbuatan baik dan perhatian
terhadap kehidupan akhirat serta tidak berbuat taat. Ketiga: mengenakan
pakaian tetapi tampak sebagian anggota badannya untuk menampakkan
kecantikannya. Mereka itu berpakaian tetapi telanjang. Keempat:
mengenakan pakaian tipis yang masih memperlihatkan warna kulitnya dan bentuk
tubuhnya. Mereka ini berpakaian tetapi telanjang.
Makna keempat
ini juga yang dipilih oleh Ibn Abdil Bar.4
Frase mâ'ilât[un] mumîlât[un]
sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam an-Nawawi maknanya: Pertama,
menyimpang dari ketaatan kepada Allah dan keharusan menjaga kemaluan. Ia juga mendorong wanita lain melakukan perbuatan
seperti perbuatan mereka. Kedua, mâ'ilât[un], yaitu wanita yang
memperindah gaya
jalannya dan menggoyangkan bahu mereka. Ketiga, mâ'ilât[un], yakni
memakai tanda serupa sisir yang miring, yang merupakan sisir tanda pelacur yang
dikenal untuk mereka. Mumîlât[un] yang memakaikan tanda serupa sisir itu
kepada wanita lainnya. Artinya, ia bisa kita maknai sebagai wanita yang memakai
dan memakaikan kepada wanita lain, pakaian, perhiasan atau asesoris yang
dikenal sebagai tanda atau ciri wanita yang suka melacur. Keempat,
mâ'ilât[un], yakni wanita yang cenderung kepada laki-laki dan memikat atau
menarik perhatian laki-laki dengan perhiasan, kecantikan, atau keindahan
anggota tubuh yang mereka tampakkan atau mereka perlihatkan.
Adapun frasa ru'ûsuhunna ka-asnamah
al-bukht al-mâ'ilah (kepala mereka seperti punuk unta yang miring)
maknanya: Pertama, membesarkan kepala dengan kerudung atau serban dan
sebagainya yang disambungkan atau ditumpuk di atas rambut sehingga menjadi
seperti punuk unta. Inilah tafsir
yang masyhur untuk frasa ini. Ia bisa juga dimaknai: menarik rambut ke atas
atau menata rambut sedemikian rupa sehingga seperti punuk unta.
Makna hadis ini saling menjelaskan dan melengkapi dengan riwayat Abu Musa al-'Asyari, bahwa Rasul saw. pernah bersabda:
Makna hadis ini saling menjelaskan dan melengkapi dengan riwayat Abu Musa al-'Asyari, bahwa Rasul saw. pernah bersabda:
Perempuan siapa
saja yang memakai wangi-wangian lalu berjalan melewati suatu kaum supaya mereka
mencium bau wanginya maka perempuan itu seperti seorang pezina (HR an-Nasai, at-Tirmidzi, Abu Dawud, Ahmad, ad-Darimi, Ibn
Khuzaimah, Ibn Hibban dan al-Baihaqi).
Bahkan ketika
hendak pergi ke masjid untuk beribadah atau shalat, wanita tetap dilarang
memakai wewangian dan tercium oleh orang di sekitarnya. Abu Hurairah
menuturkan: Suatu ketika seorang perempuan lewat di depannya dan bau wanginya
tercium terbawa angina. Ia pun bertanya, "Hendak ke mana saudari? Wanita
itu menjawab, "Ke masjid." Ia berkata, "Anda memakai
wewangian?" "Benar," jawab wanita itu. Ia berkata: Kembalilah
dan mandilah sesungguhnya aku pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda:
Allah tidak
akan menerima shalat dari seorang wanita yang keluar ke masjid sedangkan aroma
wanginya tercium terbawa hembusan angin hingga ia kembali dan mandi (yakni
seperti mandi karena junub). (HR Ibn Khuzaimah dan al-Baihaqi).
Allâhumma
waffiqnâ ilâ al-haqq wa al-'amal li thâ'atik. [Muhammad wawo].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar