Jumat, 26 Oktober 2012

Kebobrokan Demokrasi


KEBOBROKAN DEMOKRASI DALAM KASUS ANTIPORNOGRAFI-PORNOAKSI

Pornografi dan pornoaksi sangatlah jelas. Setiap upaya mempertontonkan aurat dan erotisme kepada bukan mahram merupakan pornoaksi. Sedangkan, bila hal tersebut dilakukan dengan gambar, maka tergolong pornografi. Namun, ternyata hal yang sudah tegas, dan silent majority setuju hal ini, kebanyakan para pelaku bisnis aurat menentangnya melalui media massa yang dikuasainya. Akhirnya, pansus DPR setuju untuk mencoret 'ciuman di depan umum' dari draft RUU Pornografi-Pornoaksi. Bukan hanya itu, mereka sepakat untuk mencoret kata ANTI dari kata 'antipornografi'. Hal ini mengisyaratkan bahwa kandungan UU kalaupun nantinya disahkan tidak 'antipornografi'.
Beberapa pelajaran yang dapat dipetik dari hal ini adalah:
  1. Dalam sistem demokrasi seperti yang dielu-elukan oleh pemujanya benar-benar menghalalkan atau mengharamkan sesuatu, dalam kasus ini pornografi, berdasarkan pendapat manusia. Firman Allah SWT dilecehkan atas nama seni.
  2. Dari 167 ormas yang datang ke DPR, menurut pansus DPR hanya 10% yang menolok RUU Antipornografi-Pornoaksi. Kalau mengikuti logika demokrasi 'suara terbanyak', mestinya tidak perlu lagi ragu untuk menetapkan UU Antipornografi-Pornoaksi. Tapi, kenyataan berbicara lain. Artinya, slogan demokrasi 'suara terbanyak' hanyalah benar-benar slogan. Konsep 'suara terbanyak' digunakan sesuai dengan kepentingan. Kalau kepentingan itu dipandang menguntungkan umat Islam yang ingin menjaga masyarakatnya dari kehancuran moral, diabaikanlah prinsip tersebut. Tapi, bila untuk kepentingan para pemilik modal atau dapat merusak generasi Muslim, maka dalih 'suara terbanyak' pun diusung habis-habisan.
  3. Kalau terhadap 'terorisme' yang di lapangan lebih diperuntukkan bagi umat Islam yang ingin mengubah kezhaliman melalui penerapan Islam mereka serentak menggunakan 'antiterorisme'. Namun, dalam rangka menghentikan invasi budaya porno terhadap tubuh generasi mayoritas Islam, atas nama demokrasi dan hak asasi manusia alergi pun muncul. Sekalipun hanya sekedar terhadap satu kata 'anti' dalam 'antipornografi'.
Kenyataan ini sejatinya makin menyadarkan kaum Muslim tentang tipuan demokrasi ataupun hak asasi manusia. Keduanya tidak lebih dari paham kufur yang dicekokkan untuk meracuni tubuh kaum Muslim. Juga, umat Islam perlu menjadi lebih punya bukti apakah para wakil rakyat atau pemerintah benar-benar telah bersikap amanah dalam menjaga akidah, syariat, dan akhlak masyarakatnya, ataukah sebaliknya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar